Kemenko Polkam dan ICRC Bahas Netralitas di Tengah Ancaman Konflik Maritim Canggih

Theasianet.com, Jakarta–Ditengah ancaman perang laut modern yang melibatkan teknologi drone dan senjata hipersonik, Pemerintah Indonesia bersama Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengambil langkah strategis.

Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Kemenko Polkam), berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri dan ICRC, menyelenggarakan lokakarya nasional untuk mengkaji peran dan netralitas negara berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, khususnya dalam konteks konflik bersenjata di laut.

Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenko Polkam, Duta Besar Mohammad K. Koba, menegaskan bahwa pembahasan ini memiliki urgensi tinggi mengingat dinamika keamanan maritim global yang kian kompleks. Teknologi peperangan laut terbaru telah memaksa peninjauan ulang terhadap implementasi Hukum Humaniter Internasional (HHI).

“Kita berada di era ketika tatanan keamanan maritim menghadapi perubahan sangat dinamis. Konflik di laut semakin mungkin terjadi dan berisiko besar terhadap keselamatan manusia serta lingkungan laut,” ujar Koba di Jakarta, Rabu (15/10)

Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, isu netralitas di laut bukan sekadar teori hukum, melainkan kepentingan strategis vital. Tiga jalur pelayaran internasional paling sibuk dunia—Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok—melintasi perairan Indonesia.

“Potensi konflik di wilayah laut menjadikan penting bagi kita untuk memahami interaksi antara hukum laut internasional dan hukum humaniter internasional dalam praktik kebijakan nasional,” tegas Koba.

Ia menambahkan, pembahasan mengenai HHI dan Hukum Perang Laut selama ini umumnya berfokus pada sudut pandang negara yang terlibat konflik.

Ia menyebut, lokakarya ini bertujuan mengisi celah tersebut dengan fokus pada konsekuensi hukum dan praktis bagi negara netral yang tidak terlibat langsung dalam perang, namun berpotensi terdampak serius.

Sementara itu, Wakil Menteri Luar Negeri, Arif Havas Oegroseno, menjelaskan bahwa inisiatif diskusi ini merupakan refleksi atas perkembangan geopolitik global, terutama sejak pecahnya perang di Ukraina.

“Perang di Ukraina memperlihatkan bagaimana aktivitas di darat dan laut berkembang dengan cepat. Kami menyadari bahwa kawasan kita, yang dipisahkan sekaligus dihubungkan oleh laut, memerlukan pemahaman yang kuat tentang hukum, aturan main, dan tata kelola agar konflik global tidak berdampak langsung,” jelas Havas.

Senada, Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia, Martin de Boer, memberikan apresiasi atas komitmen Indonesia.

Ia menyoroti bahwa meskipun hampir semua negara menyepakati Konvensi Jenewa 1949, penerapan norma kemanusiaan dasar di lapangan masih sering diabaikan dalam konflik bersenjata.

“Konflik hari ini menunjukkan dengan cara yang memprihatinkan bahwa hukum humaniter internasional menghadapi tantangan besar untuk melindungi manusia dalam situasi perang,” kata de Boer, menekankan bahwa mayoritas dunia saling terhubung melalui lautan.

Kemenko Polkam berharap hasil diskusi ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam mengembangkan kebijakan maritim nasional dan peran negara dalam menjaga perdamaian serta kemanusiaan di kawasan.

Diketahui, lokakarya yang berlangsung selama tiga hari (14–16 Oktober 2025) ini melibatkan pemangku kepentingan kunci, termasuk TNI Angkatan Laut, Bakamla, dan kalangan akademisi.

Loading

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait