BPS Ungkap Kejutan di Balik Fenomena ‘In This Economy’: Warga Indonesia Ternyata Masih Doyan Belanja

Ilustrasi fenomena tentang Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) di indonesia.

Theasianet.com, Jakarta-Di tengah riuhnya istilah “In this economy” dan minimnya daya beli yang digambarkan oleh “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya), Badan Pusat Statistik (BPS) justru membeberkan fakta yang mengejutkan.

Data terbaru BPS menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia justru menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi, bahkan mendorongnya terbang ke angka 5,12 persen year on year (yoy) pada kuartal II 2025.

Fakta ini secara gamblang membantah narasi pesimisme ekonomi yang beredar luas di media sosial. Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menjelaskan bahwa lonjakan ini terjadi berkat pertumbuhan signifikan di berbagai sektor.

“Nilai transaksi uang elektronik, kartu debit, dan kartu kredit tumbuh 6,26 persen secara tahunan. Sementara itu, transaksi daring dari e-retail dan marketplace melesat 7,55 persen secara quarter to quarter (qtq),” terang Edy dalam konferensi pers di kantor BPS, dikutip dari laman CNN indonesia.

Tidak hanya itu, indeks penjualan eceran riil juga naik 1,19 persen yoy, dan impor barang konsumsi meningkat tajam 7,60 persen yoy. Semua data ini mengindikasikan bahwa perputaran uang di masyarakat tetap kencang, menepis anggapan bahwa semua orang menahan diri untuk berbelanja.

Data BPS menegaskan dominasi konsumsi rumah tangga sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Dengan kontribusi sebesar 2,64 persen, sektor ini jauh melampaui komponen lain seperti pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang hanya 2,06 persen dan ekspor bersih sebesar 0,22 persen.

Meskipun demikian, Edy Mahmud belum berani menyimpulkan secara tegas apakah lonjakan konsumsi ini berarti daya beli masyarakat sudah sepenuhnya pulih. Ia menyoroti fenomena baru yang luput dari pengamatan banyak orang, yaitu pergeseran masif dari belanja offline ke online.

“Kita memang mudah melihat fenomena secara langsung di toko-toko fisik. Tapi yang secara online ini yang sulit terlihat,” ujarnya, menambahkan bahwa pergeseran inilah yang menjadi faktor penting di balik data konsumsi yang tinggi.

Di sisi lain, laporan BPS juga mengungkap sisi yang kurang menggembirakan. Belanja pemerintah masih terkontraksi 0,33 persen pada kuartal II 2025. Padahal, pemerintah telah membuka blokir anggaran di sejumlah kementerian/lembaga (K/L).

Edy menjelaskan bahwa kontraksi ini terjadi bukan karena blokir anggaran, melainkan karena tingginya pengeluaran pada tahun sebelumnya. “Pengeluaran pemerintah pada 2024 lalu sangat tinggi, sehingga di kuartal II 2025 ini belanja pemerintah, terutama belanja barang dan jasa, masih terlihat negatif,” katanya. Ia juga menduga ada jeda waktu dalam proses pencairan anggaran, sehingga dampaknya belum langsung terasa.

Secara keseluruhan, kinerja ekonomi Indonesia di kuartal II 2025 terbilang solid. Dengan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp5.947 triliun dan pertumbuhan kumulatif semester I 2025 sebesar 4,99 persen, Indonesia menunjukkan ketahanan ekonomi yang kuat di tengah tantangan global.(red)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait